ucokmandalahi

January 1st, 2011

Knowledge Sharing dalam Lintas Budaya

Posted by ucokmandalahi in Knowledge Management  Tagged

Saat ini batas antar wilayah, batas antar negara, sudah menjadi semakin kabur dengan berkembangnya era globalisasi serta adanya kemajuan teknologi yang pesat. Oleh sebab itu dalam konteks ini sebuah organisasi perlu memiliki kompetensi dalam melakukan knowledge sharing di lingkungan budaya yang berbeda. Sebuah organisasi perlu melihat kembali pemahaman knowledge itu sendiri dalam konteks budaya yang ada, agar tidak kehilangan esensinya pada waktu disebarluaskan ke dalam lingkungan budaya yang berbeda.

Salah satu contoh yang dianggap sebagai kegagalan dalam proses knowledge sharing lintas budaya adalah upaya World Bank dalam membantu negara-negara berkembang keluar dari kemiskinan dan berbagai permasalahan keuangan yang membelit negara-negara tersebut. Lembaga ini sejak tahun 1999 sudah menekankan pentingnya hubungan antara knowledge, learning dan development. Berbagai pernyataan juga dibuat untuk menekankan bahwa knowledge adalah faktor yang paling penting dalam pengembangan ekonomi. Dalam The 1998/99 Knowledge for Development World Development Report disebutkan bahwa:

“Poor countries-and poor people-differ from rich ones not only because they have less capital but because they have less knowledge. Knowledge is often costly to create, and that is why much of it is created in industrial countries.”

Berdasarkan sudut pandang itu World Bank berpendapat bahwa negara-negara Utara (dalam hal ini mengacu pada negara-negara industri) adalah sumber dari knowledge tersebut. Oleh sebab itu World Bank kemudian menawarkan solusi bagi permasalahan ekonomi negara-negara berkembang, yang identik dengan pemikiran negara-negara Utara, yaitu perdagangan bebas dan investasi asing.

Solusi yang ditawarkan oleh World Bank tersebut menimbulkan kontroversi baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Sejumlah ahli berpendapat bahwa perdagangan bebas hanya merupakan alat bagi negara maju untuk memperluas daerah perdagangannya. Dengan kemajuan teknologi dan tingkat ekonomi yang lebih baik, negara-negara tersebut dapat menghasilkan produk dan servis yang berkualitas baik dengan harga yang kompetitif, sehingga produk dan servis mereka dapat bersaing di tingkat dunia. Sedangkan negara-negara berkembang, dengan tingkat teknologi dan pendidikan yang lebih rendah dari negara-negara maju, sering bermasalah dengan kualitas produk dan servis yang mereka tawarkan. Kalaupun secara kualitas bersaing, seringkali dari sisi harga mereka tidak dapat bersaing. Hal ini menjadi hambatan bagi negara-negara berkembang untuk bersaing di tingkat dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan bebas dalam kondisi tertentu lebih banyak menguntungkan negara maju daripada negara berkembang.

Demikian juga halnya dengan solusi World Bank tentang investasi asing bagi negara-negara berkembang. Ketika krisis ekonomi berlangsung di sejumlah negara berkembang pada tahun 1997, program investasi asing merupakan salah satu solusi yang disyaratkan oleh World Bank bagi para peminjam bantuan World Bank. Persyaratan ini menjadi perdebatan yang berkepanjangan pada setiap negara yang diberi persyaratan tersebut, karena di satu sisi merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat, sementara di sisi lain dianggap sebagai upaya memasukkan pihak-pihak asing. Dengan posisi tawar negara berkembang yang lebih rendah dari negara maju, investasi asing ini dianggap tidak cukup menguntungkan, karena persyaratan yang diajukan oleh para investor cenderung berat. Program ini juga dianggap oleh sejumlah ahli ekonomi sebagai pemiskinan yang terstruktur karena berhasil mengurangi kepemilikan negara terhadap industri-industri strategis.

Untuk mengurangi gap informasi antara negara-negara Utara dengan negara-negara Selatan, World Bank juga mendirikan internet portal, yang dianggap sebagai kunci bagi 3 hal pokok yang hendak dilakukan World Bank sebagai inisiator knowledge sharing dunia, yaitu; 1. The Development Gateway; 2. The Global Development and Learning Network; 3. The Global Development Network. World Bank menghabiskan sekitar $60 million antara tahun 1997 sampai dengan 2002 untuk mengembangkan jaringan internet dunia yang bertujuan memberikan akses pada studi, informasi dan tren yang memungkinkan kelompok atau individu untuk bertukar pikiran dan memungkinkan bekerjasama.

Dalam kenyataannya kurang dari 30% pengunjung portal yang berasal dari luar Amerika Serikat, sehingga efektivitas dari portal tersebut sebagai tempat untuk knowledge sharing antara negara kaya dengan negara dan komunitas yang lebih miskin dipertanyakan. Lembaga ini berkilah bahwa ketidaksamaan dalam akses internet menunjukkan perlunya teknologi ini digunakan secara meluas. Angka pengguna internet yang semakin meningkat menunjukkan bahwa akan banyak negara miskin yang dapat berpartisipasi dalam penggunaan internet ini.

World Bank dalam hal ini mengabaikan sejumlah kritik dari para ahli yang mengatakan bahwa kalaupun hal yang diprediksikan oleh World Bank tentang penggunaan internet tersebut benar, masalah penggunaan internet tetap bukan kebutuhan utama bila dibandingkan dengan hak hidup, jaminan ketersediaan pangan, pengadaan air bersih dan akses terhadap berbagai institusi dan pinjaman.

Permasalahan-permasalahan yang muncul itu disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1. Cara pandang terhadap permasalahan hanya berdasarkan cara pandang budaya di tempat atau negara yang melakukan identifikasi permasalahan tersebut.

2. Solusi yang ditawarkan hanya mempunyai makna dalam konteks budaya asal, tetapi menjadi kurang bermakna atau mempunyai makna yang berbeda bagi tempat atau negara lain.

3. Tidak adanya kesesuaian budaya antara budaya di tempat atau negara yang mengidentifikasi masalah dan menawarkan solusi dengan budaya pada tempat atau negara yang menjalankan solusi tersebut.

Ketiga hal tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa pengetahuan itu dapat dipindahkan secara linier, dalam arti dapat ditransfer antar wilayah tanpa mengalami distorsi serta mempunyai sirkulasi global, sehingga dapat diaplikasikan atau dapat bekerja bersama pengetahuan lokal. Cara pandang tersebut memunculkan pendapat bahwa pengetahuan adalah entitas teknis yang dapat dipindahkan secara linier dan tidak berubah dari satu tempat ke tempat lain (McFarley, 2006:).

Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah sebenarnya knowledge itu sendiri, sehingga dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya? Untuk itu patut disimak pendapat dari sejumlah ahli tentang knowledge tersebut. Dalam bukunya Organizational Knowledge Creation, Nonaka berpendapat bahwa knowledge is situated atau sesuatu yang bersifat context-specific, selalu terkait dengan waktu dan tempat (Nonaka et al, 2000:7). Selain itu, menurut Nonaka, pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat ‘justified belief’ sehingga setiap pengembangan suatu pengetahuan dalam pemikiran dan pelaksanaannya selalu melalui justifikasi (Nonaka, dkk., 2000:7). Sedangkan menurut McFarlane, pengetahuan adalah hasil dari belajar, sehingga merupakan hasil interaksi antara pengalaman dan kompetensi. Disamping itu adakalanya pengetahuan juga terkait dengan hal-hal yang bersifat politis (2006:297).

Karena itu dalam konteks knowledge transfer lintas budaya, McFarley berpendapat bahwa knowledge selalu berubah ketika dia berpindah tempat. Dalam perjalanannya knowledge itu selalu mengalami penerjemahan, tidak dapat berpindah secara linier saja. Oleh sebab itu materi knowledge dan hubungan antar ruang menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam konteks perjalanan knowledge. Hubungan antar ruang menjadi hal yang penting dalam perjalanan knowledge, sebab pertemuan antar ruang yang berbeda memerlukan penyelarasan antara kompetensi dan pengalaman individu-individu dalam ruang tersebut selama proses belajar. Belajar, menurut McFarley, berlangsung dalam konteks dekat dan jauh dalam ekologi spasial yang kompleks (2006:301).

Oleh karena itu dalam lintas budaya ini, McFarley melihat pentingnya fokus pada pemahaman terhadap pengetahuan orang lokal, politik lokal serta geografi sebagai hal utama. Bukan berarti hal itu menempatkan pengetahuan lokal sebagai sesuatu yang mempunyai hak istimewa dibandingkan dengan pengetahuan orang luar, tetapi pendekatan tersebut melibatkan negosiasi dari berbagai situasi berbeda dari pengetahuan, seperti pengetahuan lokal, posisi negara pemberi bantuan donor atau negara yang terlibat dalam issue tersebut, dan lain-lainnya (2006:301).

Kemampuan untuk melihat perbedaan tentang knowledge antar dua budaya, serta kemampuan untuk melakukan sinergi yang menggabungkan kekuatan dari masing-masing budaya tersebut, melibatkan kemampuan untuk melihat cara berpikir yang berbeda dari yang biasa kita lakukan. Peter Senge menyebutnya sebagai kemampuan untuk melakukan shifting mind atau metanoia. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam proses belajar seseorang, agar dapat menerima ide-ide baru. Dalam hal ini menurut Peter Senge arti belajar itu sendiri seharusnya meliputi perubahan yang fundamental atau pergerakan dari sebuah pikiran. Apabila hal tersebut dilakukan maka melalui belajar seseorang bisa dikatakan mencipta ulang dirinya sendiri, sehingga dia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dia lakukan (1994:13-14). Oleh sebab itu kapasitas dia untuk membuat sesuatu yang baru menjadi lebih besar.

Kapasitas seseorang bertambah karena dia dapat mengubah cara pandang dan hubungannya dengan dunia. Cara pandang dan hubungan tersebut, menurut Peter Senge, didasarkan pada asumsi yang sangat mendasar, general atau berupa gambar atau image yang mempengaruhi pemahaman kita tentang dunia dan bagaimana kita bertindak atau yang disebut sebagai mental model (1994:8). Sehingga kapasitas seseorang bertambah karena belajar, disebabkan karena keberhasilannya untuk keluar dari mental model lama, ke mental model baru.

Selain memiliki kemampuan untuk mengubah cara berpikir, dalam konteks knowledge sharing lintas budaya ini, seseorang juga perlu mempunyai orientasi pada system thinking agar dapat melihat suatu permasalahan dalam konteks yang lebih komprehensif, tidak berdiri sendiri. Sebab tanpa pemahaman tentang sesuatu yang berorientasi pada sistem, tidak ada motivasi untuk melihat bagaimana hubungan dari masing-masing sub sistem yang terdapat dalam sistem tersebut (Senge, 1994:12).

Hal terakhir yang perlu dikemukakan adalah kompetensi yang diperlukan bagi orang-orang yang terlibat dalam proses knowledge sharing lintas budaya ini. Menurut Kayes, dkk. (2005:582) ada beberapa kompetensi yang diperlukan oleh seseorang dalam melakukan knowledge sharing tersebut, yaitu:

1. Valuing different cultures.

Kemampuan untuk memahami kompleksitas norma budaya dan bagaimana hal tersebut memberi kontribusi bagi terciptanya pengetahuan baru.

2. Building relationship within the host cultures.

Dengan membangun hubungan dengan orang-orang lokal akan memungkinkan proses penciptaan pengetahuan baru.

3. Listening and observing

Kemampuan mendengarkan dan mengamati akan membuat orang memahami budaya lokal dan praktek-praktek yang ada untuk mengerti rasional di belakang praktek tersebut.

4. Coping with ambiguity

Kemampuan untuk melihat permasalahan bukan sebagai sesuatu yang menyebabkan kebingungan tetapi hanya menganggap sebagai sesuatu hal baru yang perlu dipelajari.

5. Translating complex ideas

Kemampuan untuk menjelaskan ide yang kompleks dalam bahasa dan makna local.

6. Taking action

Kemampuan untuk bertindak dan membuat keputusan dan bertindak.

7. Managing others

Kemampuan untuk mengorganisasikan staf local dan expatriate serta mengatasi konflik di antara mereka.

Sumber: Knowledge Sharing

January 1st, 2011

Product Knowledge, Penentu Pelayanan yang Bermutu

Posted by ucokmandalahi in Knowledge Management  Tagged

Pernahkan Anda mengalami kekesalan karena dilayani oleh petugas atau Customer Service yang tidak menguasai produk yang dijual? Kalau ada pertanyaan yang bersifat agak detil langsung kelabakan atau minta waktu untuk bertanya pada supervisornya?

Pelayanan kepada customer dan proses penjualan seperti layaknya sebuah mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Untuk meningkatkan penjualan harus meningkatkan kualitas pelayanan, dan untuk meningkatkan mutu pelayanan harus menguasai product knowlegde dan proses penjualan.

Untuk menjadi seorang Customer Service Representative yang sukses, maka salah satu dari sekian ketrampilan yang harus dimiliki adalah : Pengetahuan tentang Produk .

Kita harus mengetahui dahulu apakah kita harus memahami seluruh aspek produk atau jasa yang akan kita jual. Apakah ini termasuk juga bagaimana cara kerja produk itu, aplikasinya, pemasangan dan pilihan harganya. Benar, secara singkat, pengetahuan tentang produk untuk seorang petugas pelayanan pelanggan berarti kemampuan untuk menjawab hampir semua pertanyaan pelanggan mengenai produk.

Pelayanan yang Bermutu Mensyaratkan Pengetahuan tentang Produk

Makin tinggi pengetahuan tentang produk anda, makin mudah anda memberikan pelayanan bermutu. Misalnya anda menciptakan sebuah sepeda. Anda merencanakan sepeda tersebut, kemudian membuatnya, menyiapkan rencana pemasaran dan menetapkan kebijakan pelayanan. Setelah anda bekerja keras menyiapkannya selama 6 bulan, lalu anda bertemu dengan sekelompok pelanggan untuk mendiskusikan sepeda itu. Dapatkah anda bayangkan ketika pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada anda dan anda tidak dapat menjawabnya ? Sementara anda telah diperlengkapi dengan pengetahuan yang begitu detil mengenai hasil karya anda, yaitu sebuah sepeda ( dimana pengetahuan anda adalah dari merencanakan sampai menjual ), untuk anda dapat memberikan pelayanan yang bermutu, tentulah akan sangat mudahnya. Inilah jenis pengetahuan yang sebenarnya dibutuhkan oleh setiap petugas pelayanan pelanggan.

Cara-cara untuk mengembangkan Pengetahuan tentang Produk

Karena kebanyakan para petugas pelayanan pelanggan tidak menciptakan sendiri produk dan jasa perusahaan, maka harus dicari cara lain untuk dapat memiliki pengetahuan tentang produk mereka.

Berikut adalah beberapa ide-ide yang dapat membantu anda dalam tugas ini, antara lain :

Pelatihan : Idealnya, perusahaan anda akan menawarkan pelatihan tentang produk. Yang menjadi tanggung jawab anda adalah menjalankan pelatihan tersebut dan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya. Pelatihan tentang product knowledge pada umumnya diberikan kepada pegawai yang baru masuk, namun karena dalam kenyataan selalu saja terjadi perubahan atau pengembangan fitur atau benefit produk, maka diperlukan pelatihan berkala bagi pegawai untuk memastikan semua memiliki pemahaman yang benar dan ter up-date.

Brosur dan Literatur lain : Merupakan materi tambahan, biasanya disusun untuk memudahkan pelanggan untuk dapat mengenal akan produk yang ditawarkan, dan biasanya menonjolkan tentang kelebihan yang dimiliki oleh produk, aplikasi produk biasanya juga dijelaskan dalam materi ini.

Bagian atau unit kerja lain : Secara khusus, ada para ahli mengenai produk didalam perusahaan anda. Orang-orang ini biasanya bekerja di bagian produksi, teknik, penjualan, pelayanan pelanggan, atau kelompok kerja lain.

Benchmarking : Mempelajari fitur dan benefit produk perusahaan pesaing melalui riset atau pengamatan langsung ke lapangan untuk dijadikan pembanding atau bahan evalusi bagi produk maupun pelayanan perusahaan anda.

Bacaan : Tidak ada pengganti untuk bacaan tentang produk dan jasa anda. Carilah perpustakaan perusahaan, laci-laci file informasi, materi referensi teknis, laporan tahunan, dan sumber-sumber lain. Kemudian praktekkan/ gunakan bahan-bahan yang anda cari itu.

Ingatlah, bahwa tanggung jawab untuk memiliki pengetahuan yang luas tentang produk terletak pada anda. Usaha yang konsisten untuk tetap mendapatkan informasi tentang produk dan jasa anda adalah kunci bagi kemampuan anda dalam memberikan pelayanan yang bermutu, dan hal itu akan dapat meningkatkan nilai anda sebagai seorang petugas pelayanan pelanggan.

Sumber: Product Knowledge

December 26th, 2010

Intangible Assets

Posted by ucokmandalahi in Knowledge Management  Tagged ,

In the corporate world, companies possess many different tangible assets with real marketplace value. Real estate, office equipment, office furniture, computers, cash, and accounts receivable are assets that, if necessary, can be exchanged in trade or used to pay off debts. Assets like these normally carry established market values, which vary depending on different economic and geographic factors. These kinds of assets are relatively easy to quantify and include on financial reports.

However, tangible assets are only part of the total picture. Companies also possess vast arrays of intangible assets. Intangible assets have real vale and are very important to a company’s success, but are much harder to measure and quantify than their tangible counterparts. These kinds of assets can be customer-, technology-, or market-based. Examples of intangible assets include organizational ability, research and development, brand equity, customer databases, exclusivity within a particular market or geographic area, software, drawings, special expertise, customer satisfaction, the speed at which companies are able to bring new products and services to market, and more. Such assets usually involve information and are knowledge-based, focusing on products, services, and organizational systems. Knowledge-based, intangible assets are sometimes referred to as intellectual capital.

Although they may not be visible to the naked eye the same way tangible assets are, it is important for companies to take stock of the intangible assets they have and find ways to capture and preserve them. In the early 2000s, there were different ways of doing this. One approach was to keep employees with special knowledge, skills, and abilities happy so that they did not leave and seek employment with competing organizations. Another approach to retaining intangible assets involved storing them in computerized “expert systems.” Based on artificial intelligence technology, expert systems are databanks of human knowledge that users can query in order to receive answers to common problems or challenges. Such systems have been used in the finance and insurance fields, where information is key, as well as in retail settings. There also are other ways companies store and share their collective knowledge. Home Depot, which operates a chain of home improvement stores, posts information on its intranet (a private Internet site for employees) containing quick answers to a variety of home improvement and repair questions. This allows employees to consistently provide customers with more value at the store level.

As information and knowledge play increasingly prominent roles in the business world, identifying and managing intangible assets become issues that physical retailers like Home Depot must deal with, as must companies doing business exclusively online. According to Investor Relations Business, Wayne Upton of the Financial Accounting Standards Board indicated this was a challenge for all companies, regardless of size. “The issue of intangible assets is just as important for a company like Pfizer Corp. as it is for a start-up, although Pfizer may do a better job,” he explained.

One of the reasons intangible assets are so important is because they can be converted to tangible assets, ultimately generating revenue. Books, software products, equipment, patents, and inventions are prime examples. Intangible assets also are of considerable interest to investors. In the past, a company’s book value often was closely associated with its market value. However, by the early 2000s market values often exceeded book values, and the difference was often attributable to the value of a company’s intangible assets. The dollar value of such assets is considerable. Futurist cited information from the editors of the Harvard Business School’s newsletter, Harvard Management Update, indicating intangible assets were worth “an average of three times more than the physical assets a company may possess, such as equipment and buildings.”

Despite the importance of intangible assets to both companies and their investors, they remained difficult to define, recognize, and measure in the early 2000s, and uniform standards for doing so did not exist. The fact that such information was not being disclosed to investors and analysts along with other, more easily quantifiable assets, presented serious problems. After all, it made it more difficult for investors to make sound decisions in the absence of such information. Because of these concerns, professionals in the fields of academia and accounting were seeking to alter the ways companies measured performance and value. By proposing new methods, they acted as change agents, challenging established principles that no longer met the information needs of the business community.

Sumber: Intangible-Assets

..here the lesson..

Jadi ingat tentang perang hak patent yg beberapa bulan lalu sempat booming di antara para perusahaan IT dan telekomunikasi (baca: TechCrunch). Materi mengenai intangible assets di atas dapat menjawab pertanyaan mengapa perusahaan-perusahaan tersebut saling mempertahankan hak patent yg mereka miliki, bahkan siap untuk “bertindak tegas” apabila ada kompetitor yg melakukan penggunaan hak patent secara ilegal.

Seperti yg ada dalam bacaan di atas, salah satu keuntungan besar yg ada pada intangible assets adalah dapat diubah menjadi tangible assets, bahkan nilainya bisa mencapai 3 kali lipat dibanding aset fisik (tangible assets). Hak patent merupakan wujud dari kekayaan intelektual, dengan demikian ada nilai-nilai yg fital di dalamnya. Nilai-nilai ini yg menjadi pondasi business process suatu perusahaan. Selain itu, hak patent juga bisa menjadi “alat strategis” suatu perusahaan dalam mendapatkan keuntungan. Dengan bermodalkan hak patent, perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan produk yg dipatentkan yg digunakan oleh perusahaan lain. Disini perusahaan pemilik hak patent tidak perlu sampai melakukan produksi, tapi mampu mendapatkan keuntungan.