Knowledge Sharing dalam Lintas Budaya
Saat ini batas antar wilayah, batas antar negara, sudah menjadi semakin kabur dengan berkembangnya era globalisasi serta adanya kemajuan teknologi yang pesat. Oleh sebab itu dalam konteks ini sebuah organisasi perlu memiliki kompetensi dalam melakukan knowledge sharing di lingkungan budaya yang berbeda. Sebuah organisasi perlu melihat kembali pemahaman knowledge itu sendiri dalam konteks budaya yang ada, agar tidak kehilangan esensinya pada waktu disebarluaskan ke dalam lingkungan budaya yang berbeda.
Salah satu contoh yang dianggap sebagai kegagalan dalam proses knowledge sharing lintas budaya adalah upaya World Bank dalam membantu negara-negara berkembang keluar dari kemiskinan dan berbagai permasalahan keuangan yang membelit negara-negara tersebut. Lembaga ini sejak tahun 1999 sudah menekankan pentingnya hubungan antara knowledge, learning dan development. Berbagai pernyataan juga dibuat untuk menekankan bahwa knowledge adalah faktor yang paling penting dalam pengembangan ekonomi. Dalam The 1998/99 Knowledge for Development World Development Report disebutkan bahwa:
“Poor countries-and poor people-differ from rich ones not only because they have less capital but because they have less knowledge. Knowledge is often costly to create, and that is why much of it is created in industrial countries.”
Berdasarkan sudut pandang itu World Bank berpendapat bahwa negara-negara Utara (dalam hal ini mengacu pada negara-negara industri) adalah sumber dari knowledge tersebut. Oleh sebab itu World Bank kemudian menawarkan solusi bagi permasalahan ekonomi negara-negara berkembang, yang identik dengan pemikiran negara-negara Utara, yaitu perdagangan bebas dan investasi asing.
Solusi yang ditawarkan oleh World Bank tersebut menimbulkan kontroversi baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Sejumlah ahli berpendapat bahwa perdagangan bebas hanya merupakan alat bagi negara maju untuk memperluas daerah perdagangannya. Dengan kemajuan teknologi dan tingkat ekonomi yang lebih baik, negara-negara tersebut dapat menghasilkan produk dan servis yang berkualitas baik dengan harga yang kompetitif, sehingga produk dan servis mereka dapat bersaing di tingkat dunia. Sedangkan negara-negara berkembang, dengan tingkat teknologi dan pendidikan yang lebih rendah dari negara-negara maju, sering bermasalah dengan kualitas produk dan servis yang mereka tawarkan. Kalaupun secara kualitas bersaing, seringkali dari sisi harga mereka tidak dapat bersaing. Hal ini menjadi hambatan bagi negara-negara berkembang untuk bersaing di tingkat dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan bebas dalam kondisi tertentu lebih banyak menguntungkan negara maju daripada negara berkembang.
Demikian juga halnya dengan solusi World Bank tentang investasi asing bagi negara-negara berkembang. Ketika krisis ekonomi berlangsung di sejumlah negara berkembang pada tahun 1997, program investasi asing merupakan salah satu solusi yang disyaratkan oleh World Bank bagi para peminjam bantuan World Bank. Persyaratan ini menjadi perdebatan yang berkepanjangan pada setiap negara yang diberi persyaratan tersebut, karena di satu sisi merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat, sementara di sisi lain dianggap sebagai upaya memasukkan pihak-pihak asing. Dengan posisi tawar negara berkembang yang lebih rendah dari negara maju, investasi asing ini dianggap tidak cukup menguntungkan, karena persyaratan yang diajukan oleh para investor cenderung berat. Program ini juga dianggap oleh sejumlah ahli ekonomi sebagai pemiskinan yang terstruktur karena berhasil mengurangi kepemilikan negara terhadap industri-industri strategis.
Untuk mengurangi gap informasi antara negara-negara Utara dengan negara-negara Selatan, World Bank juga mendirikan internet portal, yang dianggap sebagai kunci bagi 3 hal pokok yang hendak dilakukan World Bank sebagai inisiator knowledge sharing dunia, yaitu; 1. The Development Gateway; 2. The Global Development and Learning Network; 3. The Global Development Network. World Bank menghabiskan sekitar $60 million antara tahun 1997 sampai dengan 2002 untuk mengembangkan jaringan internet dunia yang bertujuan memberikan akses pada studi, informasi dan tren yang memungkinkan kelompok atau individu untuk bertukar pikiran dan memungkinkan bekerjasama.
Dalam kenyataannya kurang dari 30% pengunjung portal yang berasal dari luar Amerika Serikat, sehingga efektivitas dari portal tersebut sebagai tempat untuk knowledge sharing antara negara kaya dengan negara dan komunitas yang lebih miskin dipertanyakan. Lembaga ini berkilah bahwa ketidaksamaan dalam akses internet menunjukkan perlunya teknologi ini digunakan secara meluas. Angka pengguna internet yang semakin meningkat menunjukkan bahwa akan banyak negara miskin yang dapat berpartisipasi dalam penggunaan internet ini.
World Bank dalam hal ini mengabaikan sejumlah kritik dari para ahli yang mengatakan bahwa kalaupun hal yang diprediksikan oleh World Bank tentang penggunaan internet tersebut benar, masalah penggunaan internet tetap bukan kebutuhan utama bila dibandingkan dengan hak hidup, jaminan ketersediaan pangan, pengadaan air bersih dan akses terhadap berbagai institusi dan pinjaman.
Permasalahan-permasalahan yang muncul itu disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Cara pandang terhadap permasalahan hanya berdasarkan cara pandang budaya di tempat atau negara yang melakukan identifikasi permasalahan tersebut.
2. Solusi yang ditawarkan hanya mempunyai makna dalam konteks budaya asal, tetapi menjadi kurang bermakna atau mempunyai makna yang berbeda bagi tempat atau negara lain.
3. Tidak adanya kesesuaian budaya antara budaya di tempat atau negara yang mengidentifikasi masalah dan menawarkan solusi dengan budaya pada tempat atau negara yang menjalankan solusi tersebut.
Ketiga hal tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa pengetahuan itu dapat dipindahkan secara linier, dalam arti dapat ditransfer antar wilayah tanpa mengalami distorsi serta mempunyai sirkulasi global, sehingga dapat diaplikasikan atau dapat bekerja bersama pengetahuan lokal. Cara pandang tersebut memunculkan pendapat bahwa pengetahuan adalah entitas teknis yang dapat dipindahkan secara linier dan tidak berubah dari satu tempat ke tempat lain (McFarley, 2006:).
Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah sebenarnya knowledge itu sendiri, sehingga dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya? Untuk itu patut disimak pendapat dari sejumlah ahli tentang knowledge tersebut. Dalam bukunya Organizational Knowledge Creation, Nonaka berpendapat bahwa knowledge is situated atau sesuatu yang bersifat context-specific, selalu terkait dengan waktu dan tempat (Nonaka et al, 2000:7). Selain itu, menurut Nonaka, pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat ‘justified belief’ sehingga setiap pengembangan suatu pengetahuan dalam pemikiran dan pelaksanaannya selalu melalui justifikasi (Nonaka, dkk., 2000:7). Sedangkan menurut McFarlane, pengetahuan adalah hasil dari belajar, sehingga merupakan hasil interaksi antara pengalaman dan kompetensi. Disamping itu adakalanya pengetahuan juga terkait dengan hal-hal yang bersifat politis (2006:297).
Karena itu dalam konteks knowledge transfer lintas budaya, McFarley berpendapat bahwa knowledge selalu berubah ketika dia berpindah tempat. Dalam perjalanannya knowledge itu selalu mengalami penerjemahan, tidak dapat berpindah secara linier saja. Oleh sebab itu materi knowledge dan hubungan antar ruang menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam konteks perjalanan knowledge. Hubungan antar ruang menjadi hal yang penting dalam perjalanan knowledge, sebab pertemuan antar ruang yang berbeda memerlukan penyelarasan antara kompetensi dan pengalaman individu-individu dalam ruang tersebut selama proses belajar. Belajar, menurut McFarley, berlangsung dalam konteks dekat dan jauh dalam ekologi spasial yang kompleks (2006:301).
Oleh karena itu dalam lintas budaya ini, McFarley melihat pentingnya fokus pada pemahaman terhadap pengetahuan orang lokal, politik lokal serta geografi sebagai hal utama. Bukan berarti hal itu menempatkan pengetahuan lokal sebagai sesuatu yang mempunyai hak istimewa dibandingkan dengan pengetahuan orang luar, tetapi pendekatan tersebut melibatkan negosiasi dari berbagai situasi berbeda dari pengetahuan, seperti pengetahuan lokal, posisi negara pemberi bantuan donor atau negara yang terlibat dalam issue tersebut, dan lain-lainnya (2006:301).
Kemampuan untuk melihat perbedaan tentang knowledge antar dua budaya, serta kemampuan untuk melakukan sinergi yang menggabungkan kekuatan dari masing-masing budaya tersebut, melibatkan kemampuan untuk melihat cara berpikir yang berbeda dari yang biasa kita lakukan. Peter Senge menyebutnya sebagai kemampuan untuk melakukan shifting mind atau metanoia. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam proses belajar seseorang, agar dapat menerima ide-ide baru. Dalam hal ini menurut Peter Senge arti belajar itu sendiri seharusnya meliputi perubahan yang fundamental atau pergerakan dari sebuah pikiran. Apabila hal tersebut dilakukan maka melalui belajar seseorang bisa dikatakan mencipta ulang dirinya sendiri, sehingga dia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dia lakukan (1994:13-14). Oleh sebab itu kapasitas dia untuk membuat sesuatu yang baru menjadi lebih besar.
Kapasitas seseorang bertambah karena dia dapat mengubah cara pandang dan hubungannya dengan dunia. Cara pandang dan hubungan tersebut, menurut Peter Senge, didasarkan pada asumsi yang sangat mendasar, general atau berupa gambar atau image yang mempengaruhi pemahaman kita tentang dunia dan bagaimana kita bertindak atau yang disebut sebagai mental model (1994:8). Sehingga kapasitas seseorang bertambah karena belajar, disebabkan karena keberhasilannya untuk keluar dari mental model lama, ke mental model baru.
Selain memiliki kemampuan untuk mengubah cara berpikir, dalam konteks knowledge sharing lintas budaya ini, seseorang juga perlu mempunyai orientasi pada system thinking agar dapat melihat suatu permasalahan dalam konteks yang lebih komprehensif, tidak berdiri sendiri. Sebab tanpa pemahaman tentang sesuatu yang berorientasi pada sistem, tidak ada motivasi untuk melihat bagaimana hubungan dari masing-masing sub sistem yang terdapat dalam sistem tersebut (Senge, 1994:12).
Hal terakhir yang perlu dikemukakan adalah kompetensi yang diperlukan bagi orang-orang yang terlibat dalam proses knowledge sharing lintas budaya ini. Menurut Kayes, dkk. (2005:582) ada beberapa kompetensi yang diperlukan oleh seseorang dalam melakukan knowledge sharing tersebut, yaitu:
1. Valuing different cultures.
Kemampuan untuk memahami kompleksitas norma budaya dan bagaimana hal tersebut memberi kontribusi bagi terciptanya pengetahuan baru.
2. Building relationship within the host cultures.
Dengan membangun hubungan dengan orang-orang lokal akan memungkinkan proses penciptaan pengetahuan baru.
3. Listening and observing
Kemampuan mendengarkan dan mengamati akan membuat orang memahami budaya lokal dan praktek-praktek yang ada untuk mengerti rasional di belakang praktek tersebut.
4. Coping with ambiguity
Kemampuan untuk melihat permasalahan bukan sebagai sesuatu yang menyebabkan kebingungan tetapi hanya menganggap sebagai sesuatu hal baru yang perlu dipelajari.
5. Translating complex ideas
Kemampuan untuk menjelaskan ide yang kompleks dalam bahasa dan makna local.
6. Taking action
Kemampuan untuk bertindak dan membuat keputusan dan bertindak.
7. Managing others
Kemampuan untuk mengorganisasikan staf local dan expatriate serta mengatasi konflik di antara mereka.
Sumber: Knowledge Sharing